Aku menatap gadis itu, "Atau, atau maukah kau yang pindah ke Gili Trawangan? Kita bisa menikah disini, bukan? Tinggal disini bersama anak-anak Rosie." Aku mengatakan kemungkinan pertama.
Sekar tertawa, amat getir, "Ya, dan aku sepanjang hari menjadi saksi betapa aku hanya menjadi bayang-bayang dari Rosie-mu."
Ya Tuhan, aku berharap agar pembicaraan ini tidak segera mengarah kesana. Tetapi Sekar sudah mencungkil pintunya. Semua ini sia-sia. Harus berapa kali aku mengatakan kepadanya, masa lalu itu sudah tertinggal jauh. Aku masih mencintai Rosie, tapi itu dengan pengertian dan pemahaman cinta yang berbeda. Aku sungguh sudah berdamai dengan perasaan itu.
"Aku tau, kau tidak akan pernah bisa mencintaiku. Tidak dengan cinta sebesar Rosie-mu." Sekar mulai menangis. Aku menggigit bibir. Hilang sudah kemungkinan-kemungkinan itu.
"Aku mencintaimu, Sekar."
"Tidak. Seharusnya saat berharap pertama kali dulu, saat mengenal pertama kali dulu aku secepat mungkin mengenyahkan semua perasaan itu, membuangnya jauh-jauh. Aku tidak akan pernah mendapatkan cintamu. Akulah yang keliru, aku memaksakan diri. Bersimpati, lantas mulai menanam benih-benihnya. Merasa kalau cintaku yang besar bisa mengubur masa lalu itu. Aku tidak menginginkan pernikahan itu kalau kau merasa terpaksa melakukannya. Pergilah, Tegar, pergilah bersama anak-anak. Mereka jauh membutuhkanmu dibandingkan aku, dibandingkan aku." Sekar tergugu.
Matahari bersiap menghujam kaki langit. Sunset yang indah. Sayang, tidak ada sunset di hati kami saat ini.
Sunset Bersama Rosie - Tere Liye
hal 177-178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar