Kamis, 07 Januari 2021

Autumn in Korea - Last Two Days : City Strolling & Farewell

Dalam itinerary, hari itu jadwal kami adalah melihat Ginkgo Tree Tunnel yang terkenal di Asan. Tapi berhubung masih ada must-visit place di dalam kota Seoul yang belum kami kunjungi sedangkan besok adalah hari terakhir dari rangkaian perjalanan, maka kami putuskan untuk membatalkan rencana ke Asan dan city strolling saja di ibu kota.

7 November 2019

Tujuan pertama hari itu adalah landmark yang paling sering muncul di drama Korea. Ya, Namsan Seoul Tower yang lokasinya ada di atas Gunung Nam (Namsan). Berdasarkan info dari teman saya, tidak ada stasiun subway di sekitar area tersebut. Untuk kesana bisa menggunakan bus, cable car, ataupun jalan kaki melewati Namsan Park. Dengan biaya cable car yang sudah pasti menguras dompet, maka pilihan kami jatuh kepada bus. Bus yang memiliki rute ke Namsan Seoul Tower adalah yang berwarna kuning. Tapi biar lebih pasti, bisa tanya langsung ke Pak Driver hehe.

Jam 8 pagi, bus menurunkan saya dan suami di pelataran Namsan Seoul Tower. Masih sepi, syukurnya. Menara ini terdiri dari dua bagian yaitu N Seoul Tower yang mana adalah menaranya sendiri dan Seoul Tower Plaza yang merupakan bagian bawah menara. Di sini, kita bisa melihat view kota Seoul secara keseluruhan dari observatory deck-nya. Tapi, tidak pun melalui observatory deck, pemandangan Kota Seoul tetap dapat dinikmati dari berbagai sisi Namsan Seoul Tower. Spot wajibnya tentu adalah area love locks yang sangat populer.

Difoto dari halte bus Namsan Seoul Tower. Menuju lokasi menara tinggal jalan kaki dikit

What a city!

Posisi gembok ini tepat di bawah menara

Ada pohon gembok cinta juga~

***

Menjelang siang, saya dan suami bergerak meninggalkan Namsan Seoul Tower menuju Ewha Womans University. Untuk menuju kampus ini menggunakan subway, bisa turun di stasiun Ewha Womans University dan keluar dari exit 2 atau 3. Jalanan menuju kampus Ewha dipenuhi oleh toko-toko lucu mulai dari toko kosmetik, pakaian, pernak pernik, dan stationary yang harganya tentunya menyesuaikan kantong mahasiswa. Ada satu toko stationary lucu yang menarik perhatian kami, namanya adalah Artbox dengan maskot Galapagos & Friends. Tidak sepopuler Brown, Cony, atau Sally, tapi juga tidak kalah cute dari mereka.

Galapagos & Friends

Gedung kampus Ewha dibangun dengan gaya Eropa. Jadi setiba di sana, kami seakan masuk ke belahan dunia lain. Belum lagi warni-warni pepohonan musim gugur yang memenuhi hampir seluruh penjuru kampus menjadikannya semakin mengagumkan. Arsitektur paling unik di Ewha adalah bangunan kaca yang menjorok ke bawah yang bisa langsung kelihatan ketika memasuki area kampus.

Popular building of Ewha

Singgah sebentar di Eropa

Setelah berkodak secukupnya di kampus wanita ini, petualangan hari itu kami tutup dengan berburu oleh-oleh di Namdaemun Market dan jalan-jalan lagi di Myeongdong Street.

***

8 November 2019

Salah satu tempat yang menjadi tujuan yaitu Itaewon, sengaja saya letakan di hari terakhir yang bertepatan dengan hari Jum'at agar suami bisa sekalian sholat Jum'at di Seoul Central Mosque-nya. Pagi harinya sebelum berangkat, kami pergi ke Daiso untuk membeli segala barang per-jastip-an dan mampir ke Halal Mart untuk membeli tteokpokki cup instan - yang ternyata masih tutup.

Sekitar 1-1,5 jam sebelum azan Jum'at, kami berangkat ke Itaewon menggunakan subway. Untuk menuju Seoul Central Mosque, bisa dengan menggunakan subway line 6 dan turun di stasiun Itaewon exit 3. Lokasi mesjid ada di dalam jalan kecil jadi mari mainkan maps-nya hehe.

Ada satu snack bar halal di Itaewon yang menjual street food Kdrama-starter pack seperti tteokpokki, eomuk, hotdog, dan gimbab. Namanya adalah Manis Kitchen. Sudah diniatkan dalam hati kalau ke Itaewon harus jajan di tempat ini untuk melenyapkan rasa penasaran akan makanan Korea yang selalu sukses bikin ngiler di setiap serial dramanya.

Dalam perjalanan kaki mencari titik lokasi mesjid, tiba-tiba Pak Suami ngomong, "Eh ini dia Manis Kitchen-nya". Saya yang rencananya mau nyari lokasi Manis Kitchen setelah Jum'at-an langsung auto kegirangan karena tanpa dicari, dia muncul sendiri hehe. Gerbang mesjid pun ternyata kelihatan dari Manis Kitchen, terpisah beberapa langkah saja. Karena sudah keburu ketemu, jadilah kami mampir dulu. Hasrat untuk nyoba street food Korea memang sudah tak bisa didendung. Menu wajib jib jib pastilah tteokpokki dan eomuk. Kalau kata anak Instagram, rasa tteokpokki-nya "seenak itu woi", "gak ngerti lagi mau nangis" saking cocoknya di lidah kami. Rasa eomuknya juga enak menurut saya.

Duo combo cemilan sedap

Waktu Jum'at-an semakin dekat. Kami bergegas menuju mesjid setelah menuntaskan sesi nyemil. Mesjid mulai dipadati para lelaki berbagai ras yang ingin menunaikan sholat. Sembari suami saya melaksanakan ibadahnya, saya menunggu di halaman mesjid. Hari itu cuaca Seoul dingin sekali, antara 4-6 derajat. Tangan rasanya sudah kaku bahkan untuk sekedar memencet tombol shutter kamera, tapi sholat Jum'at tak kunjung selesai. 1,5 jam berlalu, barulah mulai kelihatan batang hidung para lelaki keluar dari pintu mesjid. Saya bergegas pergi sholat setelah minitipkan barang-barang ke suami. Ternyata tempat sholat wanita ada di lantai atas. Tau begitu, saya sudah sholat dari tadi hehe.

Mesjid pertama dan tertua di Korea

Keluar dari mesjid, kami kembali ke Manis Kitchen untuk membeli hotdog. Tapi pandangan masih  tertuju ke tteokpokki yang kuahnya sedang menggelegak mendidih menggiurkan - yang dimasaknya memang tepat di depan pembeli. Iman goyah dan akhirnya kami membeli satu bungkus untuk di penginapan.

Paha ayam

Siapa yang gak ngiler, masaknya begini.. :(

Selain Seoul Central Mosque, tujuan lain di Itaewon adalah Line Store. Belum sampai di kata puas memang, meskipun ini adalah Line Store ketiga yang saya kunjungi selama di Korea. Masing-masing store punya keunikan photo spot berbeda. Lokasi store ini ada di sisi pintu exit 3 stasiun Itaewon. Tinggal lurus saja beberapa meter.

Line Store Itaewon. Maafkan karena fotonya banyak karena semua sudut memang sungguh menggemaskan







***

Flight kami kembali ke Kuala Lumpur adalah jam 9.30 pagi esok harinya disambung lusa untuk penerbangan ke Pekanbaru. Demi menghindari keterlambatan karena hal-hal yang tidak diinginkan, kami memutuskan untuk ke bandara malam ini dan bermalam disana. Selepas maghrib, kami makan dan beristirahat sebentar sebelum akhirnya meninggalkan penginapan jam 11 malam. Tidak lagi menggunakan AREX seperti ketika datang, kali ini kami menggunakan subway biasa-yang lebih ramah di kantong wkwk.

Our last dinner in Korea that year :( Japchae (beli di Kampungku Myeongdong) & Tteokpokki yang tadi dibungkus

Gonna miss this building

And last subway as well. That year.

***

Bandara sepi karena sebagian besar manusia sudah terlelap di kursi tunggu masing-masing. Kami berkeliling mencari tempat kosong mulai dari gedung stasiun kereta bandara sampai gedung terminal pesawat hingga akhirnya menemukan satu kursi panjang yang bisa digunakan untuk meluruskan kaki.

***

Beberapa jam terlewati dan subuh pun tiba. Berhubung saya tidak menemukan mushola di public area Terminal 1 ini - yang mungkin memang tidak ada, saya pun mencari tempat yang memungkinkan untuk melaksanakan sholat. Nursery room menjadi solusi saat itu dan suami saya sholat di balik standing banner yang ada di depan nursery room.

Kurang dari jam 9:30 pagi, kami dipersilahkan untuk boarding. Segala proses departure terjadi sangat cepat. Pramugari menghimbau untuk mengenakan sabuk pengaman. Lampu dalam pesawat dipadamkan. Pilot mulai menggerakkan burung besi itu hingga akhirnya menjauh dari tanah Korea. Hati terasa sangat berat meninggalkan negara yang sudah membuat saya jatuh cinta berkali-kali ini. Ddo mannayo :(

Love-hate relationship with this place. The witness of many encounters and the farewells as well


Jumat, 01 Januari 2021

KPN Sail Raja Ampat 2014 - Part V (End)

Karena keisengan baca cerita-cerita jadul di blog sendiri dan berhenti di postingan tahun 2015, sekarang malah jadi pengen ngelanjutin nulis kisah lama yang masih belum usai. Yes, the story of sailing journey. Do I still remember it clearly? Anyway, kalau ada orang yang baca cerita tentang pelayaran yang saya tulis ini mulai dari part pertama sampai part terakhir, mohon maaf ya gaya bahasanya agak berbeda. They are five years apart hehe. Hal lainnya, sepertinya foto yang akan saya attach akan sangat terbatas di postingan terakhir ini karena my clothes wasn't proper back then hehe. Well, let's get started.

Raja Ampat - Ambon

Seperti yang bisa dilihat di peta, jarak Raja Ampat dan Ambon sangat dekat, cuma beberapa centi. Jadi, tak perlu waktu 24 jam untuk sampai. Dalam rute perjalanan kami yang dirilis jauh hari sebelum keberangkatan, tidak ada tertulis destinasi Ambon. Tapi kenapa sekarang mampir ke Ambon? Setelah ditelusuri, ternyata kapal mulai kehabisan segala kebutuhan yang diperlukan, jadilah mampir di Ambon untuk refill semuanya. Yes, rute bonus!

And here we are, Ambon Manise! Sembari menunggu persediaan kebutuhan kapal terisi, peserta dapat kesempatan pesiar meski untuk beberapa jam saja. Kami dikumpulkan dulu beberapa menit di Lapangan Merdeka Balai Kota Ambon untuk briefing pesiar. Setelah briefing, kami pun dilepas kemanapun hendak pergi asal tidak hilang. Di seberang Balai Kota, ada Gong Perdamaian Dunia, mampir sebentar berswafoto.

Lapangan Merdeka Balai Kota Ambon

Setelah selesai, salah satu kakak pendamping, tepatnya kakak pendamping kelompok 9 (anggaplah namanya A) yang adalah orang Ambon, ngajak anak-anak dampingannya alias peserta kelompok 9 untuk mampir ke rumahnya nyobain makanan khas setempat buatan Ibunya. Secara tak sengaja saya pun ter-ajak (FYI, saya kelompok 6). Kok bisa? Jadi, si Kak A ini lagi "dekat" dengan teman terdekat saya selama pelayaran dan anggaplah namanya B (FYI lagi, si B ini kelompok 7). Niatnya mungkin mau ngajakin si B aja. Tapi berhubung saya kemana-mana berdua terus sama si B, mau gak mau saya pun diajak ikut wkwk alhamdulillah. Kami cuma punya waktu 45 menit untuk menyelesaikan misi bertamu ke rumah kak A. Demi-demi makanan ini, kami pergi pakai angkot 15 menit, makan 15 menit, dan harus balik lagi ke meeting point dalam waktu 15 menit.

Di rumah kak A, kami disajikan papeda dengan ikan kuah kuning dan banyak pilihan makanan lainnya. Kuah kuningnya masyaAllah segar dan nikmat sekali untuk kami yang nyaris bosan makan makanan kapal yang gak banyak variasi. Rasa penasaran dengan papeda yang tergolong makanan aneh bagi warga Indonesia bagian barat ini akhirnya hilang setelah selama ini hanya bisa melihat di TV.

Tak terasa, persediaan kebutuhan kapal hampir terisi penuh. Kami mulai naik ke kapal, mengikhlaskan pesiar Ambon yang seperenam hari pun enggak sampai, tapi tetap bersyukur ya dapat rute tambahan.

Ambon - Kupang

Tanggal 27 Agustus 2014, biru dan jernihnya air laut di pelabuhan Kupang menyambut ramah rumah terapung kami. Di sini kami disambut dengan drum band, dihibur dengan permainan alat musik Sasando, diberikan materi pertahanan negara oleh Bapak Gubernur Lemhanas RI, dan dibawa ke beberapa objek wisata seperti Gong Perdamaian dan Pantai Teddy's. Tak ketinggalan jamuan makan malam di Kantor Gubernur NTT plus acara culture perform yg ditampilkan oleh peserta KPN dari Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Tengah. Menu makan malam yang super beragam yang disiapkan oleh tim orang nomor satu di NTT ini sudah bisa dipastikan membuat peserta kalap mengingat di kapal menunya selalu konsisten telur ayam ikan setiap hari.

Penyambutan di Kupang

Abang-abang main Sasando

Jatah dua hari menghirup udara Kupang berlalu dengan cepat. Untuk kesekian kalinya, tiba waktunya untuk berpisah. KRI Surabaya 591 angkat jangkar demi melanjutkan perjalanan ke titik terakhir sebelum kembali ke ibukota.

Bali

Rumah besi raksasa kecintaan kami ini melepas sauh di Pelabuhan Benoa, Bali, di malam hari pada tanggal 29 Agustus. Hati dan kaki sudah tak sabar untuk segera menjejak Pulau Dewata. Tapi apa daya belum ada arahan untuk turun malam itu dari panitia kegiatan. 

Besoknya kami diagendakan untuk berkunjung ke Museum Bajra Shandi dengan tujuan setelahnya adalah pantai. Bukan, bukan Pantai Kuta tapi Pantai Matahari Terbit. Sangat disayangkan ya huhu. Di pantai, agendanya bebas dan waktunya cukup lama. Salah satu teman kelompok saya yang adalah orang Bali, Yanti namanya, mengajak untuk berburu oleh-oleh dengan transportasi yang disediakan oleh orang tuanya. Tanpa pikir panjang, beberapa peserta dan panitia pun berangkat. Kami diarahkan ke Toko Souvenir Erlangga. Selain ke Erlangga, kami juga ke Toko Souvenir Khrisna, salah satu itinerary yang memang sudah disiapkan panitia.

Destinasi hari kedua sekaligus terakhir di Bali adalah Istana Kepresidenan Tampaksiring. Di sinilah terjadi drama untuk yang kesekian kalinya selama pelayaran. Bintik-bintik merah di kaki saya yang saya dapat akibat main di Pantai Tanjung Kasuari, hari itu kumat minta digaruk karena kena sinar matahari langsung selama berkeliling istana. Pecahlah tangis menahan rasa gatal yang luar biasa. Jadwal selanjutnya ke Goa Gajah harus saya ikhlaskan demi pergi berobat ke rumah sakit terdekat. Dua orang pendamping, Kak Windu-Kak Adri, dan teman saya, Cici, ikut mengantarkan ke rumah sakit dengan mobil terpisah. Setelah berobat, kami segera menyusul rombongan yang sudah sampai lebih dulu ke lokasi Goa Gajah.

Gerbang Istana Tampaksiring. Sekian banyak foto di Bali, cuma ini satu-satunya foto "ter-proper" di yang bisa saya attach :''(

Sore hari, perjalanan kami di Bali rampung. Seluruh peserta, panitia, dan kru kapal bergerak menuju pelabuhan. Kapal pun siap berlayar kembali ke destinasi pertama, Jakarta.

Bali - Jakarta

Dalam perjalanan menuju titik akhir, kami melakukan beberapa agenda penutup kegiatan. Salah duanya adalah menamatkan diskusi proposal kegiatan pasca layar dan evaluasi kegiatan pelayaran. Tanggal 2 September 2014, penampakan sempurna wajah pelabuhan Tanjung Priok tinggal menunggu waktu. Di malam terakhir, panitia menyelenggarakan berbagai macam acara hiburan, mulai dari KPN Award, peragaan busana oleh TNI AL dan peserta KPN, pembacaan puisi, persembahan lagu, ditutup dengan renungan dan acara perpisahan peserta. Malam itu, lautan menjadi saksi betapa banyaknya air mata yang tumpah dan betapa eratnya genggaman tangan dan pelukan antar peserta.

Foto terakhir di kapal bersama Watampone

3 September 2014, kapal menepi di Pelabuhan Tanjung Priok. Sebelum turun, diadakanlah upacara pelepasan tanda peserta yang dipimpin oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga dan pembacaan deklarasi Pemuda Bahari. Dengan hati dan langkah kaki yang berat, kami mulai meninggalkan bahtera yang sampai kapanpun akan kami rindukan.

***

Super lega akhirnya bisa menuntaskan cerita yang macetnya sampai lima tahun ini. Seeyaw!


Also read :

Minggu, 18 Oktober 2020

Autumn in Korea - Day 4 : Time Travelling

Sebagai tukang cerita amatir, sungguh butuh waktu lama untuk membangun mood dan menemukan ide menulis. Selang enam bulan dari terbitnya postingan terakhir, akhirnya saya memaksa diri untuk melanjutkan cerita yang belum terlihat ujungnya.
***

6 November 2019

Hari keempat, itinerary saya dan suami adalah time travelling ke era Jeoson. Di negara yg katanya "where past meets the future" ini, ada banyak tempat di tengah kota yang bisa membawa kita seakan terlempar ke masa lalu. Salah satunya dan mungkin jadi yang paling populer adalah Gyeongbokgung Palace. Demi menyempurnakan perjalanan kami melewati lorong waktu, Hanbok tentunya menjadi outfit wajib. Sebelum berangkat ke Korea, saya sudah lebih dulu booking Hanbok-secara online-di salah satu toko penyewaan Hanbok yang menjamur di sekeliling istana. Namanya adalah Seohwa Hanbok Rental, dengan biaya sewa sekitar 500 ribuan (harga setelah diskon) untuk dua Hanbok dan durasi pemakaian seharian alias sampai tokonya tutup. Untuk ke Gyeongbokgung Palace menggunakan subway, caranya bisa dengan turun di Gyengbokgung Station atau di Anguk Station.

***

Jam 8 pagi kami berangkat menuju toko tersebut. Ruangan sudah dipenuhi penyewa meskipun belum memasuki jam operasional toko. Jam 9 tepat, pekerja toko membagi kami dalam kelompok-kelompok kecil sesuai ukuran badan dan bahasa yang bisa kami mengerti. Lalu, kami di-briefing sejenak dan dipersilahkan memilih pakaian beserta aksesorinya. Setelah selesai berganti pakaian, saya dan suami bergerak menuju Istana Gyengbokgung yang jaraknya hanya sejauh satu zebra cross dari toko Seohwa. Sedikit info, untuk masuk ke kawasan istana tidak dikenakan biaya jika menggunakan Hanbok.

Pagi itu, di istana sedang ada upacara pergantian pengawal. Pengunjung bergantian mengambil posisi paling depan untuk dapat menyaksikan dan mengambil beberapa gambar pengawal istana yang berbaris mengenakan pakaian tradisional sambil membawa replika senjata Seoul jaman dulu. Saya dan suami sesaat larut dalam momen yang selama ini hanya bisa dilihat di film atau drama kolosal Korea itu.



Upacara Pergantian Pengawal

Setelah menikmati upacara, kami berjalan berkeliling istana. Mencari spot-spot foto ikonik, menyusuri lorong dengan pilar-pilar merah, melewati pintu-pintu dengan ukiran indah, berjalan bersisian dengan tembok istana yang  megah, melihat tempat sang raja memerintah, dan tidak lupa mengambil beberapa gambar pohon ginkgo yang sedang menguning cerah.




Strolling around the palace

Tengah hari, dengan masih tetap bertema time travelling, kami berpindah tempat dari Gyeongbokgung Palace ke Bukchon Hanok Village yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bukchon Hanok Village adalah salah satu area pemukiman penduduk yang bangunannya masih mempertahankan arsitektur tradisional di tengah majunya kota Seoul. Perjuangan untuk sampai ke kompleks perumahan ini cukup menguras waktu dan emosi. Sinyal jelek internet waktu itu memaksa kami berhenti menggunakan GMaps dan hanya bisa meraba-raba lokasi kompleks. Lokasinya yang berada di dalam gang semakin menyulitkan pencarian kami. Saya juga bingung kenapa waktu itu tidak bertanya ke orang sekitar. Waktu berlalu dan tempat tujuan tidak kunjung ditemukan. Saya menyerah dan mengajak suami kembali ke toko Seohwa untuk mengakhiri perjalanan menembus waktu ini.

Dalam perjalanan menuju toko, kami berpapasan dengan dua wanita berhanbok. Suami saya memutuskan bertanya ke dua wanita itu yang ternyata adalah orang Malaysia (lagi). Sayangnya, mereka tidak bisa menunjukkan jalannya karena mereka tidak pergi ke Bukchon Hanok Village melainkan ke Changdeokgung Palace yang lokasinya juga ada di sekitar situ. Tapi mereka berbaik hati memberikan peta wisata daerah tersebut yang mereka punya kepada saya dan suami. Bermodal peta itu, kami mengulang pencarian dan akhirnya pun berhasil menemukan gang dengan jejeran rumah Hanok di kiri-kanannya itu.

Gang utama di Bukchon sangat padat, hampir tidak mungkin mengambil foto berlatar deretan atap khas Korea  itu tanpa ada orang lain di dalamnya. Mood baik saya yang sudah terkuras karena pencarian tadi, semakin habis karena tidak bisa mengambil foto. Suami saya mencari jalan keluar dengan menyusuri gang-gang sekitar yang view-nya tidak kalah cantik dan mengajak saya berfoto disana.

Another beautiful corner of Bukchon Village


The crowd of Bukchon's main valley

***

Time was running out. Matahari semakin bergerak ke arah barat tapi kami belum menjamak sholat Zuhur dan Ashar. Tak lama menikmati Bukchon, kami kembali ke toko Seohwa untuk mengembalikan Hanbok lalu ber-subway menuju Korea Tourism Organization yang berada tepat di depan Cheonggyecheon Stream, Myeongdong untuk melaksanakan sholat di musolla mininya. Setelah itu, kami memutuskan untuk menikmati udara sore musim gugur hari itu di Yeouido Hangang Park. Untuk mencapai taman ini, kami turun di stasiun Yeouinaru.

***

Bersepeda dan bersantai sambil makan mie instan layaknya di drama Korea adalah dua kegiatan yang sangat ingin saya lakukan di taman ini. Berhubung waktu kami sempit, kami pun tidak bisa melakukan aktivitas pertama. Saya dan suami memilih duduk santai saja menikmati indahnya sungai Han berlatar gedung-gedung tinggi kota. Bagaimana dengan mie instannya? Dari sebelum berangkat, opsi itu sudah saya ikhlaskan karena kecil kemungkinan Korea menjual mie instan halal. Tapi ternyata rasa ikhlas butuh pembuktian.
 
Dua orang wanita yang duduk di kursi tidak jauh dari saya dan suami terlihat sedang menikmati mie instan dengan wadah petaknya yang khas itu. Hasrat yang sudah terkubur dalam, kembali muncul. Terlintaslah ide untuk mencari mie instan vege. Pekerjaan selanjutnya adalah mencari tempat jualnya. Dari kejauhan nampak beberapa remaja keluar dari kapal yang sepertinya tertambat permanen di pinggir Sungai Han-sambil membawa wadah berisi mie instan. Kami berjalan mendekati kapal, ternyata ada minimarket CU disana.

Di dalam minimarket sudah berjejer rapi mie instan berbagai merk dilengkapi fasilitas kompor listrik berbentuk dispenser yang langsung ada air untuk merebus mienya. Duh, sungguh ini alasan terbesar dari keinginan saya itu. Makan mie instan di pinggir sungai Han pakai wadah khusus, masak sendiri pakai kompor bentuk dispenser itu, tepat seperti yang ada di drama Korea. Tapi dari sekian banyak mie instan yang ada, tidak satupun kami temukan merk-merk mie instan vege yang sebelumnya sudah di-search di internet. Lagi-lagi, bayangan keseruan itu lenyap. Bye, mie instan! Wkwk.
 
Foto penutup di postingan kali ini wkwk

***
 
Malam menjelang. Saya dan suami kembali ke Myeongdong untuk mengisi perut. Setelah makan dan sebelum pulang ke penginapan, lagi-lagi kami berkeliling di area Myeongdong Street untuk mencari skincare titipan beberapa teman. Btw, dunia per-skincare-an Korea itu sungguh tempting. Selain kemasan dan warna-warna produknya yang unyu menggemaskan, adanya promo 10+10 di hampir semua toko semakin memanggil-manggil untuk mampir. Bayangkan beli sheetmask 10 buah gratisnya 10 juga, bukan cuma gratis 1 kayak disini he he he. Belum lagi banyak dikasih free item setelah purchase produk mereka. Waktu itu saya beli handcream 10+10, dapat free sheetmask 10 buah juga. Bagaimana iman tidak goyah? Wkwk.

Demikianlah hari keempat di Korea berakhir. Seeyaw!

Minggu, 03 Mei 2020

Autumn in Korea : Day 3 - Peaceful Nami, Colorful Petite France, and Fancy Gangnam

Siapa yang gak kenal dengan Nami Island? Bagi travel agent tujuan Korea Selatan, destinasi ini tentunya sudah duduk nyaman di posisi paling atas dalam itinerary mereka. Pulau berbentuk bulan sabit yang luasnya gak lebih dari 450 meter persegi ini adalah milik Chuncheon di Provinsi Gangwon meskipun kalo dilihat di peta posisinya lebih dekat dengan Kabupaten Gapyeong, Provinsi Gyeonggi. Ada beberapa moda transportasi yang saya tau yang bisa mengantarkan kita ke daerah dimana Pulau Nami berada, yaitu bus, ITX, dan subway. Pilihan saya dan suami tidak lain dan tidak bukan adalah subway.

Untuk mencapai Nami Island dari Seoul menggunakan subway, ada beberapa tahapan yang harus dilalui :
1. Dari stasiun asal menuju stasiun Gapyeong.
2. Dari stasiun Gapyeong naik Gapyeong Tour Bus atau taksi menuju Nami Wharf/Dermaga Nami.
3. Dari Nami Wharf nyebrang ke Pulau Nami menggunakan kapal ferry.

Stasiun Gapyeong berada di Gyeongchun Line yang titik awalnya dimulai dari stasiun Cheongnyangni (untuk informasi yang lebih mudah dipahami, baiknya sambil melihat aplikasi Kakaometro ya hehehe). Kalo dari awal kalian sudah naik di Gyeongchun Line, maka tidak akan ada masalah untuk sampai ke stasiun Gapyeong. Tapi kalo ternyata kalian ada di Gyeongui-Jungang Line, pastikan kalian pindah ke Gyeongchun Line di beberapa pilihan stasiun berikut: stasiun Cheongnyangni, stasiun Hoegi, stasiun Jungnang, stasiun Sangbong, dan stasiun Mangu. Jangan sampai tertipu dengan kemiripan antara dua jalur ini.

Bagian Gyeongchun Line (warna tosca garis putus-putus) dan Gyeongui-Jungang Line (warna tosca polos) yang memiliki kemiripan rute. Jangan sampai salah ya!

***

5 November 2019

Saya dan suami sepakat untuk berangkat jam 7 pagi agar bisa mengejar Gapyeong Tour Bus pertama.  Perjalanan kami menuju ke Nami tentunya dipandu oleh aplikasi Kakaometro. Tapi meskipun sudah menggunakan aplikasi, tragedi salah jalur tetap menimpa wkwk. Saya berangkat dari stasiun Hoehyeon (Line 4) menuju stasiun Ichon (Interchange Line 4 & Gyeongui-Jungang Line). Dari stasiun Ichon, subway mengarah ke stasiun Cheongnyangni (Intercharge Line 1, Gyeongui-Jungang Line, dan Gyeongchun Line). Salahnya saya adalah tidak turun disini dan pindah ke Gyeongchun Line karena saya pikir saya sudah ada di subway yang benar, tinggal duduk manis menunggu sampai di stasiun Gapyeong saja. Ternyata subway yang saya naiki adalah subway Gyeongui-Jungang Line. Saya tersadar setelah wanita di balik speaker subway menyebut nama stasiun Guri yang letaknya berseberangan dengan stasiun Gapyeong. Waduh, bisa-bisa ketinggalan bus Gapyeong pertama. Dengan sedikit tergesa, kami berbalik arah menuju stasiun Mangu untuk pindah jalur.

Dari stasiun Hoehyeon menuju stasiun Ichon

Stasiun Guri di Gyeongui-Jungang Line. Kesempatan terakhir bertukar jalur menuju stasiun Gapyeong adalah di stasiun Mangu.

***

Udara super dingin menyapa sekeluarnya saya dan suami dari stasiun Gapyeong. Saya gak nyangka kalau di Gapyeong suhunya lebih rendah dibanding di Seoul. Saya dan suami bergegas menuju halte bus yang terletak di depan stasiun. Sesuai kecemasan saya, bus pertama sudah berangkat. Alamat kesiangan sampai di Nami. Tapi, takdir berkata lain. Tiba-tiba dua wanita berhijab menghampiri saya.

"Nak ke Nami ke? tanyanya. Oh, warga negara tetangga ternyata.
"Iya.", jawab saya.

Dia pun mengajak saya dan suami untuk share taksi menuju Nami daripada harus menunggu bus selanjutnya yang masih lumayan lama. Tanpa pikir panjang, saya pun menerima tawarannya. Kurang lebih 5 menit kemudian, bapak driver menurunkan kami di depan parkiran Nami Wharf.

Tiket ferry ke Pulau Nami dapat dibeli di Nami Wharf dengan harga KRW13000 pulang-pergi. Syukurnya, ketika kami sampai disana, ada ferry yang masih menunggu penumpang. Dalam waktu 5 menit saja dari dermaga, saya dan suami sudah bisa menginjakkan kaki di Pulau Nami.

Kecemasan saya tentang peak autumn Nami yang berdasarkan peramalan jatuh di akhir bulan Oktober langsung dipatahkan oleh realita. Hamparan karpet berwarna kuning dengan bahan dasar daun ginkgo dan sekumpulan pohon maple yang sedang dalam tampilan terbaiknya menjadi highlight pulau Nami waktu itu. Sebagai warga negara tropis yang paling mentok lihat autumn melalui pohon ketapang, saya langsung auto-speechless dengan pemandangan yang ada di depan mata. Beberapa pohon lain yang nama-namanya belum pernah dipelajari di kelas Biologi, ikut ambil bagian dalam menyemarakkan suasana romantis musim gugur dengan daun warna warni-nya. Dari tengah pulau, terdengar alunan syahdu instrumen musik yang bikin hati adem, seakan ingin menggenapkan keromantisan ini.

Masih di atas ferry aja udah disambut begini😍




MasyaAllah maplenya cantik sekaliiii

Daun ginkgo berguguran😍

Saya dan suami berjalan berkeliling di pinggiran pulau. Tak lupa mampir ke dua spot foto wajib di Nami : patung legendaris pasangan Winter Sonata, Bae Yong Joon-Choi Jin Woo dan Metasequoia Lane. Sayangnya, keindahan musim gugur di Nami waktu itu, tidak didukung pohon Metasequoia yang warnanya belum sempurna meng-oranye.

Jadi ini yang di Winter Sonata tuu

Metasequoia Tree

***

Matahari mulai meninggi sampai akhirnya waktu zuhur pun tiba. Bagi yang muslim, tidak perlu bingung kalau mau sholat karena disini ada fasilitas mushola. Lokasinya ada di lantai 2 Children's Picturebook Library. Untuk makanan halal pun tidak perlu cemas karena tersedia di Asian Family Restaurant Dongmoon yang terletak di sebelah perpustakaan.

Menu makan siang, Jjamppong yang ada guritanya

Kurang lebih jam 2 siang, saya dan suami harus memaksa diri untuk beranjak dari ketenangan di pulau Nami. Belum puas rasanya menikmati autumn to the fullest disini. Tapi apa daya, waktu tidak bisa menunggu. Kami harus bergegas menuju destinasi selanjutnya.

Selain pulau Nami, ada banyak tujuan wisata lain di daerah Gapyeong. Salah duanya adalah Petite France dan Garden of Morning Calm. Karena waku yang tersisa tidak cukup untuk pergi ke dua lokasi itu, kami pun memilih Petite Fance sebagai tujuan terakhir di Gapyeong.

Dari Nami Wharf, kami tidak lagi naik taksi ke Petite France, tapi naik Gapyeong Tour Bus dengan biaya KRW6000. Satu tiket ini bisa dipakai berulang kali untuk menuju tempat-tempat wisata di Gapyeong termasuk halte dan stasiun.

Sekitar 20 menit, tour bus berhenti di halte Petite France. Kalian bisa berpetualang di kompleks bangunan warna-warni ala Prancis ini dengan modal KRW10000. Tidak perlu waktu lama untuk berkeliling karena tempatnya memang tidak terlalu besar. Sejujurnya pun saya bingung mendeskripsikan Petite France karena ternyata tempat ini tidak terlalu berkesan bagi saya hehehe.



Petite France dengan tema Neo Deco Candy wkwk

Menjelang sore, kami memutuskan untuk kembali ke kota Seoul. Stasiun terdekat dari Petite France adalah stasiun Cheongpyeong. Perjalanan dari Petite France menuju stasiun Cheongpyeong cukup membekas karena kami tidak kebagian kursi bus. Rute berkelok ala jalan lintas Sumbar-Riau di-combo dengan driver yang kemungkinan lulusan kursus mengemudi Medan, sangat bikin isi perut terguncang. 30 menit lebih berlalu, penampakan gedung bertuliskan Cheogpyeong Station membawa angin segar setelah bertahan dalam keadaan berdiri sambil menahan mual.

***

Agenda terakhir hari ketiga di Korea adalah melihat BTS lebih dekat. Ada yang gak kenal BTS? Wkwkwk. Destinasi BTS-tour pertama adalah K-Star Road di daerah Gangnam, daerah fancy dan mewah di Seoul. Di sepanjang jalan ini, para pecinta Hallyu bisa berfoto bersama Gangnamdol, boneka-boneka lucu bertuliskan nama-nama bintang K-Pop, salah satunya adalah BTS.

Berdasarkan informasi yang saya dapat, lokasi K-Star Road tepat berada di depan exit 2 stasiun Apgujeong. Menuju pintu exit stasiun, terpampanglah subway ads alias iklan subway ulang tahun Jimin, member BTS yang sempat memenuhi galeri handphone saya. Saya auto-kegirangan karena gak nyangka bakal ketemu iklannya disitu. Jiwa ARMY saya yang sudah lama tenggelam mulai mendobrak keluar. Langsung deh jepret-jepret.

Jimin-aaaaaa

Keluar dari stasiun, gak satupun saya temukan Gangnamdol. Padahal saya sudah keluar di pintu exit yang benar. Apakah saya salah stasiun? Saya coba cek di Kakaomaps. Benar saja, ternyata info yang saya dapat itu adalah info yang salah. K-Star Road ada di depan exit 2 stasiun Apgujeongrodeo, bukan stasiun Apgujeong. Runtuh sudah good mood hasil bertemu Jimin malam itu.

"Duh gimana ni?", tanya saya kesal.
"Ya gapapa lah. Kalo gak salah stasiun, gak bakal ketemu si Mimin.", jawab Pak Suami.
"Pfttttt", cuma bisa komen itu wkwk. 

Karena lokasi stasiun Apgujeogrodeo sebelahan dengan stasiun Apgujeong (tidak literally sebelahan ya wkwk), akhirnya kami memilih untuk jalan kaki saja. Setelah menempuh jarak kurang lebih 1 km, sampailah saya di depan Gangnamdol.

Ketua Geng Gangnamdol

Bangtan Bangtan, Bang Bang Tan!

Dari boneka-boneka K-Pop menggemaskan ini, kami bergerak ke BTS Pop Up : House of BTS yang masih terletak di daerah Gangnam. Lokasinya ada di antara stasiun Gangnam dan stasiun Sinnonhyeon. Jangan lupa cek map karena gedungnya ada di dalam gang, bukan di jalan besar.

Udah sampe depan gedungnya, saya malah galau mau masuk apa enggak. Galau karena gak tau masuknya bayar apa enggak-soalnya pakai antri, dan galau karena udah gak sebucin dulu lagi sama Bangtan-akibat gak sanggup ngikutin kegiatan Bangtan yang sungguh padat.


Tapi suami bilang, "Yaudahlah, udah sampai sini juga.." meskipun lihat antrian isinya 95% kaum hawa. Akhirnya kita pun ikut antri, dan ternyata masuknya gak bayar.

Store-nya ada 4 lantai termasuk rooftop. Lantai pertama ada di basement. Sebelum turun ke basement, Oppa karyawan ber-coat pink menggemaskan kasih beberapa item yang warnanya juga pink. Ada katalog, pensil, penggaris, kartu, sama plastik tentengannya.


Dalam antrian di tangga menuju basement, pengunjung di-brief sama Oppa pake bahasa kampungnya. Saya lihat antrian di depan dan di belakang, ternyata cuma saya seorang wanita pengguna hijab, yang matanya agak besar, dan kulitnya agak gelap yang artinya kemungkinan cuma saya yang gak ngerti dia ngomong apa wkwk (selain suami saya). Setelah briefing, tiba-tiba Oppa menghampiri saya dan nanya bisa bahasa Korea apa enggak. Tentu tidak. Akhirnya saya pun di-private-brief dalam bahasa dunia belahan lain. Gak berapa lama, kami pun dipersilahkan masuk ke ruangan yang lagi-lagi bernuansa pink. Gemesnyaaaa.



Lantai 1 khusus lapak jualan Bangtan. Tapi yang bisa kita lihat cuma display-nya aja. Kalo mau beli segala printilan BTS ini, harus tandai di katalog. Ntar bawa katalognya ke kasir, bayar, terus ambil di bagian pengambilan barang yang ada di lantai 2. Ribet yak😅 Selain tempat ambil belanjaan, di lantai 2 juga bisa beli food & beverage lucu dengan wadah berlogo Bangtan.

Naik ke lantai 3 dan 4, puncak dari kunjungan ke BTS Pop Up : spot foto. Mulai dari replika spot yang ada di MV Bangtan, boneka-boneka Bangtan, sampai giant Army Bomb.



Yg ARMY silahkan ditebak-tebak ini ada di MV apa wkwk



Keluar dari gedung, para ARMY garis keras bawa tentengan besar dan buaaanyak yg bisa saya perkirakan harganya sampai jutaan. Meanwhile saya cuma beli dua bijik note buat kenang-kenangan yang sampai sekarang pun belum dibuka plastiknya wkwk.


***

BTS-tour malam itu ditutup dengan mampir ke Gangnam Line Store. Ini lebih gampang lagi nyarinya. Letaknya di jalan besar antara dua stasiun yang disebutkan di atas. Beda dengan Line Store yang ada di Myeongdong, Line Store disini ada boneka BT21-nya, karakter Line ciptaan BTS.



Gak ngerti lagi kalo Korea bikin toko idenya kenapa bisa gemesin gini

Sekian petualangan hari ketiga di Korea. Mohon maaf atas lanjutan cerita yang super duper telat🤭 Semoga hari keempat bisa segera terbit wkwk.